Source: e-mail
Mukadimah
Dahulu kala, masyarakat memandang perempuan bagaikan hewan atau bagian dari kekayaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Demikian pula masyarakat Arab pada masa Jahiliyah. Mereka senantiasa memandang wanita sebagai makhluk yang hina. Bahkan, sebagian di antara mereka ada yang menguburkan anak perempuan mereka hidup-hidup.
Ketika fajar mentari Islam terbit, Islam memberikan hak kepada kaum hawa dan telah menentukan pula batas-batasnya, seperti hak sebagai ibu, hak sebagai istri, dan hak sebagai pemudi.
Tentu kita semua sering mendengar hadis Nabi saw yang menyatakan, “Surga itu terletak di bawah kaki ibu.”
Di lain kesempatan, beliau bersabda, "Kerelaan Allah terletak pada kerelaan orang tua." (Dan perempuan termasuk salah satu dari orang tua).
Islam telah memberikan batasan kemanusiaan kepada wanita dan memberikan aturan, undang-undang yang menjamin perlindungan, penjagaan terhadap kemuliaan wanita dan kehormatannya.
Sebagai contoh yang jelas ialah hijab atau jilbab. Jilbab bukanlah penjara bagi wanita, tapi ia merupakan kebanggaan baginya, sebagaimana kita selalu melihat permata yang tersimpan rapi di dalam kotaknya, atau buah-buahan yang tersembunyi di balik kulitnya.
Sedangkan bagi wanita muslimah, Allah SWT telah memberikan aturan yang dapat melindunginya dan menjaga diriya, yaitu jilbab. Bahkan tidak hanya sekedar pelindung, jilbab dapat menambah ketenangan dan keindahan pada diri wanita tersebut.
Wanita dalam pandangan Islam berbeda secara mencolok dari apa yang terjadi di Barat. Dunia Barat memandang wanita laksana benda atau materi yang layak untuk diiklankan, diperdagangkan, dan bisa diambil keuntungan materinya, dengan dalih memelihara etika dan kemuliaan wanita sebagai manusia.
Pandangan ini benar-benar telah membuat nilai wanita terpuruk dan terpisah dari naluri serta nilai-nilai kemanusiaan. Kita juga menyaksikan keretakan keluarga, perceraian yang terjadi di dalam masyarakat Barat telah sedemikian mengkuatirkan.
Dalam pandangan dunia Barat, wanita telah berubah menjadi seonggok barang yang tidak berharga lagi, baik dalam dunia perfilman, iklan, promosi, ataupun dalam dunia kontes kecantikan.
Teman-teman, marilah kita sejenak menengok sosok teladan kaum wanita dalam Islam yang terwujud dalam kehidupan putri Rasulullah tercinta.
Dialah Siti Fatimah Az-Zahra as.
Putri tersayang Nabi Muhammad saw.
Istri tercinta Imam Ali as.
Bunda termulia Hasan, Husain, dan Zainab as.
Hari Lahir
Fatimah as dilahirkan pada tahun ke-5 setelah Muhammad saw diutus menjadi Nabi, bertepatan dengan tiga tahun setelah peristiwa Isra' dan Mikraj beliau.
Sebelumnya, Jibril as telah memberi kabar gembira kepada Rasulullah akan kelahiran Fatimah. Ia lahir pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, di kota suci Makkah.
Fatimah di Rumah Wahyu
Fatimah as hidup dan tumbuh besar di haribaan wahyu Allah dan kenabian Muhammad saw. Beliau dibesarkan di dalam rumah yang penuh dengan kalimat-kalimat kudus Allah SWT dan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Acapkali Rasulullah saw melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau langsung menyambut dan berdiri, kemudian mencium kepala dan tangannya.
Pada suatu hari, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw tentang sebab kecintaan beliau yang sedemikian besar kepada Fatimah as.
Beliau menegaskan, “Wahai ‘Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku. Ia tumpah darahku. Barang siapa yang membencinya, maka ia telah membenciku, dan barang siapa membahagiakannya, maka ia telah membahagiakanku.”
Kaum muslimin telah mendengar sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah diberi nama Fatimah karena dengan nama itu Allah SWT telah melindungi setiap pecintanya dari azab neraka.
Fatimah Az-Zahra’ as menyerupai ayahnya Muhammad saw dari sisi rupa dan akhlaknya.
Ummu Salamah ra, istri Rasulullah, menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Demikian juga ‘Aisyah. Ia pernah menyatakan bahwa Fatimah adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah dalam ucapan dan pikirannya.
Fatimah as mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun.
Setelah ibunda kinasihnya, Khadijah as wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya itu.
Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan dan ujian yang dilancarkan oleh orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang ayah, dan yang membersihkan kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang Quraisy ke arah ayahanda tercinta.
Fatimah senantiasa mengajak bicara sang ayah dengan kata-kata dan obrolan yang dapat menggembirakan dan menyenangkan hatinya. Untuk itu, Rasulullah saw memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu bagi ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada ayahandanya.
Pernikahan Fatimah as
Setelah Fatimah as mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah saw menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, “Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah as).”
Kemudian, Jibril as datang untuk mengkabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib as. Tak lama setelah itu, Ali as datang menghadap Rasulullah dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah as. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta pendapatnya seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?"
Fatimah as diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya adalah tanda kerelaannya.”
Acara Pernikahan
Rasulullah saw kembali menemui Ali as sambil mengangkat tangan sang menantu seraya berkata, “Bangunlah! 'Bismillah, bi barakatillah, masya’ Allah la quwwata illa billah, tawakkaltu 'alallah.”
Kemudian, Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya dari setan yang terkutuk.”
Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata, “Wahai Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu.”
Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu”.
Di tengah-tengah keramaian dan kerumunan wanita yang berasal dari kaum Anshar, Muhajirin, dan Bani Hasyim, telah lahir sesuci-suci dan seutama-utamanya keluarga dalam sejarah Islam yang kelak menjadi benih bagi Ahlulbait Nabi yang telah Allah bersihkan kotoran jiwa dari mereka dan telah sucikan mereka dengan sesuci-sucinya.
Acara pernikahan kudus itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia bermaksud menjual pedangnya. Tetapi Rasulullah saw mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu, dan setuju apabila Ali menjual perisainya.
Setelah menjual perisai, Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah saw. Dengan uang tersebut beliau menyuruh Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot rumah tangga yang sederhana guna memenuhi kebutuhan keluarga yang baru ini.
Kehidupan mereka sangat bersahaja. Rumah mereka hanya memiliki satu kamar, letaknya di samping masjid Nabi saw.
Hanya Allah SWT saja yang mengetahui kecintaan yang terjalin di antara dua hati, Ali dan Fatimah. Kecintaan mereka hanya tertumpahkan demi Allah dan di atas jalan-Nya.
Fatimah as senantiasa mendukung perjuangan Ali as dan pembelaannya terhadap Islam sebagai risalah ayahnya yang agung nan mulia. Dan suaminya senantiasa berada di barisan utama dan terdepan dalam setiap peperangan. Dialah yang membawa panji Islam dalam setiap peperangan kaum muslimin. Ali pula yang senantiasa berada di samping mertuanya, Rasulullah saw.
Fatimah as senantiasa berusaha untuk berkhidmat dan membantu suami, juga berupaya untuk meringankan kepedihan dan kesedihannya. Beliau adalah sebaik-baik istri yang taat. Beliau bangkit untuk memikul tugas-tugas layaknya seorang ibu rumah tangga. Setiap kali Ali pulang ke rumah, ia mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan di sisi sang istri tercinta.
Fatimah as merupakan pokok yang baik, yang akarnya menghujam kokoh ke bumi, dan cabangnya menjulang tinggi ke langit. Fatimah dibesarkan dengan cahaya wahyu dan beranjak dewasa dengan didikan Al-Qur'an.
Keluarga Teladan
Kehidupan suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi dua kehidupan manusia untuk menjalin kehidupan bersama.
Kehidupan keluarga dibangun atas dasar kerjasama, tolong menolong, cinta, dan saling menghormati.
Kehidupan Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan bagi kehidupan suami istri yang bahagia. Ali senantiasa membantu Fatimah dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya. Begitu pula sebaliknya, Fatimah selalu berupaya untuk mencari keridhaan dan kerelaan Ali, serta senantiasa memberikan rasa gembira kepada suaminya.
Pembicaraan mereka penuh dengan adab dan sopan santun. "Ya binta Rasulillah"; wahai putri Rasul, adalah panggilan yang biasa digunakan Imam Ali setiap kali ia menyapa Fatimah. Sementara Sayidah Fatimah sendiri menyapanya dengan panggilan “Ya Amirul Mukminin”; wahai pemimpin kaum mukmin.
Demikianlah kehidupan Imam Ali as dan Sayidah Fatimah as.
Keduanya adalah teladan bagi kedua pasangan suami-istri, atau pun bagi orang tua terhadap anak-anaknya.
Buah Hati
Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasulullah saw diberi nama “Hasan”. Rasul saw sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Setahun kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan keturunan Rasulullah saw dari Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan.
Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah as. Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan menyakiti hatiku.”
Satu tahun berselang, Fatimah as melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah as itu dengan nama-nama tersebut.
Dan begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari putrinya Fatimah Zahra as.
Kedudukan Fatimah Az-Zahra’ as
Meskipun kehidupan beliau sangat singkat, tetapi beliau telah membawa kebaikan dan berkah bagi alam semesta. Beliau adalah panutan dan cermin bagi segenap kaum wanita. Beliau adalah pemudi teladan, istri tauladan dan figur yang paripurna bagi seorang wanita. Dengan keutamaan dan kesempurnaan yang dimiliki ini, beliau dikenal sebagai “Sayyidatu Nisa’il Alamin”; yakni Penghulu Wanita Alam Semesta.
Bila Maryam binti ‘Imran, Asiyah istri Firaun, dan Khadijah binti Khuwalid, mereka semua adalah penghulu kaum wanita pada zamannya, tetapi Sayidah Fatimah as adalah penghulu kaum wanita di sepanjang zaman, mulai dari wanita pertama hingga wanita akhir zaman.
Beliau adalah panutan dan suri teladan dalam segala hal. Di kala masih gadis, ia senantiasa menyertai sang ayah dan ikut serta merasakan kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as, beliau selalu merawat dan melayani suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah tangganya, hingga suaminya merasa tentram bahagia di dalamnya.
Demikian pula ketika beliau menjadi seorang ibu. Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian rupa atas dasar cinta, kebaikan, keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia. Hasan, Husain, dan Zainab as adalah anak-anak teladan yang tinggi akhlak dan kemanusiaan mereka.
Kepergian Sang Ayah
Sekembalinya dari Haji Wada‘, Rasulullah saw jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan akibat panas dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as bergegas menghampiri beliau dan berusaha untuk memulihkan kondisinya. Dengan air mata yang luruh berderai, Fatimah berharap agar sang maut memilih dirinya dan merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa ayahandanya.
Tidak lama kemudian Rasul saw membuka kedua matanya dan mulai memandang putri semata wayang itu dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Fatimah pun segera membacakan Al-Qur'an dengan suara yang khusyuk.
Sementara sang ayah hayut dalam kekhusukan mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur'an, Fatimah pun memenuhi suasana rumah Nabi. Beliau ingin menghabiskan detik-detik akhir hayatnya dalam keadaan mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya dari usia yang masih kecil dan berada di samping ayahnya di saat dewasa.
Rasul saw meninggalkan dunia dan ruhnya yang suci mi’raj ke langit.
Kepergian Rasul saw merupakan musibah yang sangat besar bagi putrinya, sampai hatinya tidak kuasa memikul besarnya beban musibah tersebut. Siang dan malam, beliau selalu menangis.
Belum lagi usai musibah itu, Fatimah as mendapat pukulan yang lebih berat lagi dari para sahabat yang berebut kekuasaan dan kedudukan.
Setelah mereka merampas tanah Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara khilafah (kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra’ as berupaya untuk mempertahankan haknya dan merebutnya dengan keberanian yang luar biasa.
Imam Ali as melihat bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan Sayidah Fatimah as secara terus menerus bisa menyebabkan negara terancam bahaya besar, hingga dengan begitu seluruh perjuangan Rasul saw akan sirna, dan manusia akan kembali ke dalam masa Jahiliyah.
Atas dasar itu, Ali as meminta istrinya yang mulia untuk menahan diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam yang suci.
Akhirnya, Sayidah Fatimah as pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan kaum muslimin akan sabda Nabi, “Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah, dan kemarahan Rasulullah adalah kemarahan Allah SWT.”
Sayidah Fatimah as diam dan bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan beliau berwasiat agar dikuburkan di tengah malam secara rahasia.
Kepergian Putri Tercinta Rasul
Bagaikan cahaya lilin yang menyala kemudian perlahan-lahan meredup. Demikianlah ihwal Fatimah Az-Zahra’ as sepeninggal Rasul saw. Ia tidak kuasa lagi hidup lama setelah ditinggal wafat oleh sang ayah tercinta. Kesedihan senantiasa muncul setiap kali azan dikumandangkan, terlebih ketika sampai pada kalimat Asyhadu anna Muhammadan(r) Rasulullah.
Kerinduan Sayidah Fatimah untuk segera bertemu dengan sang ayah semakin menyesakkan dadanya. Bahkan kian lama, kesedihannya pun makin bertambah. Badannya terasa lemah, tidak lagi sanggup menahan renjana jiwanya kepada ayah tercinta.
Demikianlah keadaan Sayidah Fatimah as saat meninggalkan dunia. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun.
Yang paling berat dalam perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami termulia, Ali as, pelindung ayahnya dalam jihad dan teman hidupnya di segala medan.
Sayidah Fatimah as memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya akan anak-anaknya yang masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya secara rahasia. Hingga sekarang pun makam suci beliau masih misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar dalam sejarah tentang dirinya.
Fatimah Az-Zahra’ as senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan penuntutan beliau atas hak-haknya yang telah dirampas. Sehingga umat Islam pun kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan kemisterian kuburan beliau.
Dengan penuh kesedihan, Imam Ali as duduk di samping kuburannya, diiringi kegelapan yang menyelimuti angkasa. Kemudian Imam as mengucapkan salam, “Salam sejahtera bagimu duhai Rasulullah ... dariku dan dari putrimu yang kini berada di sampingmu dan yang paling cepat datang menjumpaimu.
"Duhai Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku atas kepergian putrimu, dan telah berkurang pula kekuatanku ... Putrimu akan mengabarkan kepadamu akan umatmu yang telah menghancurkan hidupnya. Pertanyaan yang meliputinya dan keadaan yang akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian berdua!”[]
Riwayat Singkat Sayidah Fatimah as
Nama : Fatimah.
Julukan : Az-Zahra’, Al-Batul, At-Thahirah.
Ayah : Mahammad.
Ibu : Khadijah binti Khuwailid.
Kelahiran : Jumat 20 Jummadil Akhir.
Tempat : Makkah Al-Mukarramah.
Wafat : MadinahAl-Munawarah, Tahun 11 H.
Makam : Tidak diketahui.
Saturday, 26 December 2009
Friday, 18 December 2009
Ma'al Hijrah
Assalammu'alaikum waramatuhllahi wabarakahtuh...
” Ya Allah…Sempena Ma’al Hijrah 1431H, Aku momohon kepada-MU agar
insan yang membaca email ini agar umurnya, amal ibadatnya, rezekinya,
hidupnya dan matinya sentiasa dalam peliharaan-MU dan jadikan dia
insan yang bertaqwa dan soleh. Amin.”
PADA 1 Muharam setiap tahun, umat Islam merayakan sambutan Maal
Hijrah, bergembira atas kehadiran tahun baru dalam kalendar
Islam.Sambutan itu tidak disebut dalam al-Quran atau nas Sunah Nabi
secara terus terang tetapi ia tetap dianggap perayaan umat Islam.
Ironinya umat Islam masih lebih cenderung meraikan secara
berlebihan-lebihan tahun baru Masihi (1 Januari) termasuk dicemari
perbuatan songsang
Kemuliaan Muharam yang pada hari itu kita berselawat memuji-muji
Rasulullah - satu amalan yang diperintah Allah.Kita alunkan
nasyid-nasyid seperti Talaal Badru Alaina bagi mengingati kembali
betapa gembira kaum Ansar menyambut kehadiran Rasulullah bersama
Muhajirin di Madinah.
Maal Hijrah atau Awal Muharram adalah merupakan permulaan tahun baru
bagi takwin Islam. Ianya bermula sempena memperingati penghijrahan
Nabi Muhammad s.a.w dari Kota Mekah ke Madinah dalam tahun 622
masihi. Di samping itu ianya juga merujuk kepada peralihan daripada
sesuatu yang buruk atau kurang kepada yang baik atau sempurna.
Perpindahan Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat r.a dari Kota Mekah
ke Madinah merupakan pembinaan langkah baru sebagai persiapan
menghadapi cabaran yang bakal tiba secara terus menerus. Hijrah
bukanlah asing dalam Islam dan ia adalah sebahagian daripada Islam.
Hijrah kerana menuntut ilmu, mencari kebenaran, berjihad, berdakwah,
mencari nafkah, kerana perniagaan dan bermacam-macam hijrah lagi
adalah tuntutan dan asas ajaran Islam itu sendiri.
Jika pada kebiasaannya kita berazam pada setiap tahun baru masihi,
apa kata kali ini kita juga berazam semasa ketibaan tahun baru
hijrah. Malah jika kita tidak pernah langsung berazam selama ini
bolehlah dimulakan sekarang. Azam ini bolehlah lebih ke arah
pengisian rohani dan keagamaan. Mungkin kepada mereka yang tidak
pernah solat berazam untuk mula bersolat, mereka yang bersolat tetapi
tidak cukup lima waktu berazam untuk melengkapkan solat lima waktu
dan mereka yang bersolat lima waktu berazam untuk meningkat kualiti
solat mereka.
Di samping itu perkuatkan juga fahaman aqidah, syariat dan akhlak
kita. Apabila fahaman kita jelas maka iman dan takwa kita juga akan
kukuh. Percayalah lebih rapat kita dengan Allah s.w.t. akan lebih
tenang jiwa kita menghadapi kehidupan yang penuh cabaran dan dugaan
ini.
Doa Akhir Tahun
Doa Akhir Tahun dibaca 3 kali pada akhir waktu ‘Asar atau sebelum
masuk waktu Maghrib pada akhir bulan Zulhijjah.
Sesiapa yang membaca doa ini, Syaitan akan berkata, “Kesusahan bagiku
dan sia-sia lah pekerjaanku menggoda anak Adam pada setahun ini dan
Allah binasakan aku satu saat jua. Dengan sebab membaca doa ini,
Allah ampunkan dosanya setahun”.
Doa Awal Tahun
Doa Awal Tahun dibaca 3 kali selepas maghrib pada malam satu
Muharram.
Sesiapa yang membaca doa ini, Syaitan berkata, “Telah amanlah anak
Adam ini daripada godaan pada tahun ini kerana Allah telah mewakilkan
dua Malaikat memeliharanya daripada fitnah Syaitan”.
Selamat Menyambut Maal Hijrah 1431H
Jazakallah Khairun...
” Ya Allah…Sempena Ma’al Hijrah 1431H, Aku momohon kepada-MU agar
insan yang membaca email ini agar umurnya, amal ibadatnya, rezekinya,
hidupnya dan matinya sentiasa dalam peliharaan-MU dan jadikan dia
insan yang bertaqwa dan soleh. Amin.”
PADA 1 Muharam setiap tahun, umat Islam merayakan sambutan Maal
Hijrah, bergembira atas kehadiran tahun baru dalam kalendar
Islam.Sambutan itu tidak disebut dalam al-Quran atau nas Sunah Nabi
secara terus terang tetapi ia tetap dianggap perayaan umat Islam.
Ironinya umat Islam masih lebih cenderung meraikan secara
berlebihan-lebihan tahun baru Masihi (1 Januari) termasuk dicemari
perbuatan songsang
Kemuliaan Muharam yang pada hari itu kita berselawat memuji-muji
Rasulullah - satu amalan yang diperintah Allah.Kita alunkan
nasyid-nasyid seperti Talaal Badru Alaina bagi mengingati kembali
betapa gembira kaum Ansar menyambut kehadiran Rasulullah bersama
Muhajirin di Madinah.
Maal Hijrah atau Awal Muharram adalah merupakan permulaan tahun baru
bagi takwin Islam. Ianya bermula sempena memperingati penghijrahan
Nabi Muhammad s.a.w dari Kota Mekah ke Madinah dalam tahun 622
masihi. Di samping itu ianya juga merujuk kepada peralihan daripada
sesuatu yang buruk atau kurang kepada yang baik atau sempurna.
Perpindahan Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat r.a dari Kota Mekah
ke Madinah merupakan pembinaan langkah baru sebagai persiapan
menghadapi cabaran yang bakal tiba secara terus menerus. Hijrah
bukanlah asing dalam Islam dan ia adalah sebahagian daripada Islam.
Hijrah kerana menuntut ilmu, mencari kebenaran, berjihad, berdakwah,
mencari nafkah, kerana perniagaan dan bermacam-macam hijrah lagi
adalah tuntutan dan asas ajaran Islam itu sendiri.
Jika pada kebiasaannya kita berazam pada setiap tahun baru masihi,
apa kata kali ini kita juga berazam semasa ketibaan tahun baru
hijrah. Malah jika kita tidak pernah langsung berazam selama ini
bolehlah dimulakan sekarang. Azam ini bolehlah lebih ke arah
pengisian rohani dan keagamaan. Mungkin kepada mereka yang tidak
pernah solat berazam untuk mula bersolat, mereka yang bersolat tetapi
tidak cukup lima waktu berazam untuk melengkapkan solat lima waktu
dan mereka yang bersolat lima waktu berazam untuk meningkat kualiti
solat mereka.
Di samping itu perkuatkan juga fahaman aqidah, syariat dan akhlak
kita. Apabila fahaman kita jelas maka iman dan takwa kita juga akan
kukuh. Percayalah lebih rapat kita dengan Allah s.w.t. akan lebih
tenang jiwa kita menghadapi kehidupan yang penuh cabaran dan dugaan
ini.
Doa Akhir Tahun
Doa Akhir Tahun dibaca 3 kali pada akhir waktu ‘Asar atau sebelum
masuk waktu Maghrib pada akhir bulan Zulhijjah.
Sesiapa yang membaca doa ini, Syaitan akan berkata, “Kesusahan bagiku
dan sia-sia lah pekerjaanku menggoda anak Adam pada setahun ini dan
Allah binasakan aku satu saat jua. Dengan sebab membaca doa ini,
Allah ampunkan dosanya setahun”.
Doa Awal Tahun
Doa Awal Tahun dibaca 3 kali selepas maghrib pada malam satu
Muharram.
Sesiapa yang membaca doa ini, Syaitan berkata, “Telah amanlah anak
Adam ini daripada godaan pada tahun ini kerana Allah telah mewakilkan
dua Malaikat memeliharanya daripada fitnah Syaitan”.
Selamat Menyambut Maal Hijrah 1431H
Jazakallah Khairun...
Tuesday, 15 December 2009
Nampak Kuat Agama Tapi Masuk Neraka
Oleh: Dr Mohd Asri Zainul Abidin
source: e-mail
Untuk membuat penilaian yang seimbang atau kesimpulan yang adil bukanlah mudah. Dalam kehidupan ini ramai orang selalu membuat kesimpulan daripada penampilan atau faktor luaran yang mereka lihat semata. Penilaian yang seimbang atau kesimpulan yang adil berbeza dengan sangkaan baik. Umpamanya, apabila kita melihat mereka yang kuat bersolat, atau berpuasa maka sudah pasti kita wajar bersangka baik terhadapnya.
Namun dalam masa yang sama kita tidak akan membuat kesimpulan bahawa dia adalah pasti ahli syurga, atau pasti orang yang kuat berpegang dengan agama, atau seorang yang soleh. Ini kerana solat dan puasa memanglah amalan yang baik dalam Islam, tetapi Islam bukan sahaja berkaitan soal solat dan puasa, sebaliknya Islam merangkumi pelbagai sudut kehidupan.
Jika dia kuat solat dan puasa, tetapi dalam masa yang sama kuat memaki dan mencerca orang, atau menderhakai ibubapanya, atau tidak amanah, atau menzalimi orang lain dan seumpamanya, maka dia bukannya orang yang soleh dalam ertikata sebenar dalam Islam.
Tidakkah kita selalu membaca hadis:
“Tahukah kamu siapakah orang yang muflis?” Jawab mereka: “Orang yang muflis dalam kalangan kami ialah sesiapa yang tiada dirham dan tiada harta”. Sabda baginda: “Orang yang muflis dalam umatku ialah sesiapa yang datang pada Hari Kiamat nanti bersama solat, puasa, zakat, juga dia pernah memaki seseorang, menuduh seseorang, memakan harta seseorang, menumpah darah seseorang dan memukul seseorang. Lalu diberikan kepada orang ini dan itu pahalanya. Jika pahala-pahalanya habis sebelum sempat dilangsaikan kesalahannya, maka diambil dosa-dosa mereka dicampakkan ke atasnya lantas dicampakkan dia ke dalam neraka” (Riwayat Muslim).
Pendusta Agama
Dalam hadis lain Nabi s.a.w menceritakan tentang akhir zaman ada para pembaca al-Quran kerana hendak dapat untung. Ini dapat kita lihat dalam negara kita mereka yang memakai ‘pakaian agama’ dan mengutip wang daripada orangramai kononnya kerana hendak membuat penghantaran pahala kepada si mati.
Mereka membuat untung yang besar saban tahun atas nama al-Quran dan orang menganggap mereka melakukan kebaikan sedangkan Nabi s.a.w menyindir perbuatan ini dengan sabdanya:
“Bacalah al-Quran dan mintalah daripada Allah (pahala), kerana selepas kamu akan ada kaum yang membaca al-Quran dan meminta (upah) daripada manusia” (Riwayat Ahmad dan al-Tirmizi, dinilai hasan oleh al-Albani).
Dalam sejarah ramai mereka yang menampil watak ‘agama’ tetapi sebenarnya penjenayah agama. Antara yang terkenal ialah Abu ‘Ismah Nuh bin Abi Maryam yang mencipta hadis-hadis dusta kononnya kerana ingin mendapat pahala dengan diadakan hadis-hadis fadilat itu dan ini khususnya tentang surah-surah al-Quran.
- Gambar Hiasan
Dia digelar Nuh al-Jami’ bermaksud Nuh yang menghimpunkan. Ini kerana dia menghimpunkan ilmu daripada berbagai tokoh-tokoh besar. Namun al-Hafiz Ibn Hibban menyatakan: “dia menghimpunkan segalanya, kecuali cakap benar”. (lihat: al-Sayuti, Tadrib al-Rawi, 185, Beirut: Dar al-Fikr).
Pada zahirnya, dia tokoh agamawan namun pada hakikatnya dia sebenarnya pendusta agama. Bukan sedikit orang yang sepertinya dalam sejarah pengumpulan hadis. Kata seorang tokoh pengkaji hadis, Dr. Hammam Sa`id:
“Telah zahir golongan ahli ibadat, zuhud dan nussak (penumpu penuh ibadah). Kejahilan dan kebodohan mereka telah membawa mereka mencipta hadis-hadis palsu dalam fadhilat-fadhilat amal, fadhilat surah-surah al-Quran dan solat-solat sunat, untuk menggalakkan orang ramai beramal. Seperti juga mereka mencipta hadis-hadis palsu dalam menakut orang ramai terhadap maksiat. Mereka menyangka mereka telah membela Islam. Golongan yang jahil ini tidak tahu bahawa pendustaan ke atas RasululLah s.a.w boleh menurunkan mereka ke dalam tingkatan-tingkatan yang paling bawah dalam neraka jahannam” (Hammam `Abd al-Rahim Sa`id, Al-Tamhid fi `Ulum al-Hadith, m.s. 140, Jordan: Dar al-Furqan).
Ini kerana tindakan mereka telah menipu atas nama Nabi s.a.w dan merubah wajah asal agama. Jika dilihat atau dinilai pada zahir ibadah dan pakaian mereka, tentu kita menyangka mereka golongan yang soleh, tetapi di sisi agama mereka adalah para pendusta yang termasuk dalam sabda Nabi s.a.w:
“Sesungguhnya berdusta ke atasku (menggunakan namaku) bukanlah seperti berdusta ke atas orang lain (menggunakan nama orang lain). Sesiapa yang berdusta ke atasku dengan sengaja, maka siaplah tempat duduknya dalam neraka”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Khawarij
Dalam sejarah pertelingkahan umat Islam kelompok yang paling kuat dan awal menggunakan isu agama untuk mengkafirkan orang Islam yang lain ialah Puak Khawarij.
Kelompok ini Nabi s.a.w sifatkan seperti berikut:
“..Seseorang kamu akan merasa lekeh solatnya dibandingkan solat mereka, merasa lekeh puasanya dibandingkan puasa mereka. Mereka membaca al-Quran, namun al-Quran itu tidak melebih halkum mereka. Mereka tersasar keluar dari agama seperti anak panah tersasar dari sasarannya..” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Inilah Khawarij yang kelihatan hebat dalam ibadah dan pidato agama mereka dengan menggunakan nas-nas al-Quran. Mereka mengkafirkan orang Islam yang melakukan maksiat, juga mengkafirkan orang Islam yang tidak mengikut kumpulan mereka.
Puak Khawarij ini mengangkat slogan: “Tidak ada hukum melainkan hukum Allah”. Slogan yang kelihatannya berteraskan al-Quran, tetapi dengan tujuan yang buruk. Kata Saidina Saidina ‘Ali bin Abi Talib kepada mereka: “Satu slogan yang benar, tetapi dengan tujuan yang batil”. (Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, 304/10, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah).
Dengan slogan al-Quran “Sesiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu orang-orang yang kafir” (Surah al-Maidah, ayat 44), maka mereka melancarkan kempen mengkafirkan dan memerangi orang Islam. Atas andaian yang tipis maka dengan mudah seseorang dijatuhkan hukuman murtad dan kafir.
- Gambar Hiasan
Hasilnya, pertumpahan yang dahsyat berlaku pada zaman pemerintahan Saidiyyida ‘Ali bin ‘Abi Talib. Selepas zaman ‘Ali pun, pemikiran Khawarij meresap ke dalam berbagai kumpulan dan organisasi. Hasilnya, kita mendengar isu kafir mengkafir muncul di pelbagai zaman dan tempat di seluruh pelusuk dunia Islam.
Pada zahirnya puak ini berwajah agama, namun pada hakikatnya Nabi s.a.w menyebut tentang mereka:
“Mereka itu berucap dengan ucapan sebaik-baik makhluk. Mereka tersasar keluar dari Islam seperti anak panah tersasar dari sasarannya. Iman mereka tidak melebihi halkum mereka. Di mana sahaja kamu temui mereka maka bunuhlah mereka kerana sesungguhnya membunuh mereka itu ada pahala pada Hari Kiamat” (Riwayat al-Bukhari).
Demikian getirnya kelompok ini. Sekalipun dengan ungkapan dan nas agama di mulut mereka, namun Nabi s.a.w memerintahkan agar pemerintah Islam membunuh mereka kerana mereka mengkafirkan bahkan sesetengah kelompok mereka seperti al-Azraqiyah membunuh orang Islam, anak kecil dan wanita yang tidak mengikut kumpulan atau jamaah mereka.
Dengan ini menyedarkan kita semua, di samping kita bersangka baik kepada golongan yang menzahirkan ciri-ciri agama, kita sayangkan mereka dan menghormati mereka, namun kita juga mestilah berhati-hati dengan tindakan setiap individu dan kumpulan.
Janganlah penampilan zahir menyebabkan kita membuta mata atau memandulkan akal dari membuat penilaian yang matang dan seimbang. Apa yang baik kita kata baik, apa yang salah tetap dinilai salah tanpa mengira dari mana dan siapa kesalahan itu datang. Namun jika golongan tertentu menzahirkan ciri-ciri agama dan memegang prinsip agama dalam seluruh perjalanan mereka, maka merekalah golongan yang kita cinta dan kita bela dengan sepenuhnya.
source: e-mail
Untuk membuat penilaian yang seimbang atau kesimpulan yang adil bukanlah mudah. Dalam kehidupan ini ramai orang selalu membuat kesimpulan daripada penampilan atau faktor luaran yang mereka lihat semata. Penilaian yang seimbang atau kesimpulan yang adil berbeza dengan sangkaan baik. Umpamanya, apabila kita melihat mereka yang kuat bersolat, atau berpuasa maka sudah pasti kita wajar bersangka baik terhadapnya.
Namun dalam masa yang sama kita tidak akan membuat kesimpulan bahawa dia adalah pasti ahli syurga, atau pasti orang yang kuat berpegang dengan agama, atau seorang yang soleh. Ini kerana solat dan puasa memanglah amalan yang baik dalam Islam, tetapi Islam bukan sahaja berkaitan soal solat dan puasa, sebaliknya Islam merangkumi pelbagai sudut kehidupan.
Jika dia kuat solat dan puasa, tetapi dalam masa yang sama kuat memaki dan mencerca orang, atau menderhakai ibubapanya, atau tidak amanah, atau menzalimi orang lain dan seumpamanya, maka dia bukannya orang yang soleh dalam ertikata sebenar dalam Islam.
Tidakkah kita selalu membaca hadis:
“Tahukah kamu siapakah orang yang muflis?” Jawab mereka: “Orang yang muflis dalam kalangan kami ialah sesiapa yang tiada dirham dan tiada harta”. Sabda baginda: “Orang yang muflis dalam umatku ialah sesiapa yang datang pada Hari Kiamat nanti bersama solat, puasa, zakat, juga dia pernah memaki seseorang, menuduh seseorang, memakan harta seseorang, menumpah darah seseorang dan memukul seseorang. Lalu diberikan kepada orang ini dan itu pahalanya. Jika pahala-pahalanya habis sebelum sempat dilangsaikan kesalahannya, maka diambil dosa-dosa mereka dicampakkan ke atasnya lantas dicampakkan dia ke dalam neraka” (Riwayat Muslim).
Pendusta Agama
Dalam hadis lain Nabi s.a.w menceritakan tentang akhir zaman ada para pembaca al-Quran kerana hendak dapat untung. Ini dapat kita lihat dalam negara kita mereka yang memakai ‘pakaian agama’ dan mengutip wang daripada orangramai kononnya kerana hendak membuat penghantaran pahala kepada si mati.
Mereka membuat untung yang besar saban tahun atas nama al-Quran dan orang menganggap mereka melakukan kebaikan sedangkan Nabi s.a.w menyindir perbuatan ini dengan sabdanya:
“Bacalah al-Quran dan mintalah daripada Allah (pahala), kerana selepas kamu akan ada kaum yang membaca al-Quran dan meminta (upah) daripada manusia” (Riwayat Ahmad dan al-Tirmizi, dinilai hasan oleh al-Albani).
Dalam sejarah ramai mereka yang menampil watak ‘agama’ tetapi sebenarnya penjenayah agama. Antara yang terkenal ialah Abu ‘Ismah Nuh bin Abi Maryam yang mencipta hadis-hadis dusta kononnya kerana ingin mendapat pahala dengan diadakan hadis-hadis fadilat itu dan ini khususnya tentang surah-surah al-Quran.
- Gambar Hiasan
Dia digelar Nuh al-Jami’ bermaksud Nuh yang menghimpunkan. Ini kerana dia menghimpunkan ilmu daripada berbagai tokoh-tokoh besar. Namun al-Hafiz Ibn Hibban menyatakan: “dia menghimpunkan segalanya, kecuali cakap benar”. (lihat: al-Sayuti, Tadrib al-Rawi, 185, Beirut: Dar al-Fikr).
Pada zahirnya, dia tokoh agamawan namun pada hakikatnya dia sebenarnya pendusta agama. Bukan sedikit orang yang sepertinya dalam sejarah pengumpulan hadis. Kata seorang tokoh pengkaji hadis, Dr. Hammam Sa`id:
“Telah zahir golongan ahli ibadat, zuhud dan nussak (penumpu penuh ibadah). Kejahilan dan kebodohan mereka telah membawa mereka mencipta hadis-hadis palsu dalam fadhilat-fadhilat amal, fadhilat surah-surah al-Quran dan solat-solat sunat, untuk menggalakkan orang ramai beramal. Seperti juga mereka mencipta hadis-hadis palsu dalam menakut orang ramai terhadap maksiat. Mereka menyangka mereka telah membela Islam. Golongan yang jahil ini tidak tahu bahawa pendustaan ke atas RasululLah s.a.w boleh menurunkan mereka ke dalam tingkatan-tingkatan yang paling bawah dalam neraka jahannam” (Hammam `Abd al-Rahim Sa`id, Al-Tamhid fi `Ulum al-Hadith, m.s. 140, Jordan: Dar al-Furqan).
Ini kerana tindakan mereka telah menipu atas nama Nabi s.a.w dan merubah wajah asal agama. Jika dilihat atau dinilai pada zahir ibadah dan pakaian mereka, tentu kita menyangka mereka golongan yang soleh, tetapi di sisi agama mereka adalah para pendusta yang termasuk dalam sabda Nabi s.a.w:
“Sesungguhnya berdusta ke atasku (menggunakan namaku) bukanlah seperti berdusta ke atas orang lain (menggunakan nama orang lain). Sesiapa yang berdusta ke atasku dengan sengaja, maka siaplah tempat duduknya dalam neraka”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Khawarij
Dalam sejarah pertelingkahan umat Islam kelompok yang paling kuat dan awal menggunakan isu agama untuk mengkafirkan orang Islam yang lain ialah Puak Khawarij.
Kelompok ini Nabi s.a.w sifatkan seperti berikut:
“..Seseorang kamu akan merasa lekeh solatnya dibandingkan solat mereka, merasa lekeh puasanya dibandingkan puasa mereka. Mereka membaca al-Quran, namun al-Quran itu tidak melebih halkum mereka. Mereka tersasar keluar dari agama seperti anak panah tersasar dari sasarannya..” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Inilah Khawarij yang kelihatan hebat dalam ibadah dan pidato agama mereka dengan menggunakan nas-nas al-Quran. Mereka mengkafirkan orang Islam yang melakukan maksiat, juga mengkafirkan orang Islam yang tidak mengikut kumpulan mereka.
Puak Khawarij ini mengangkat slogan: “Tidak ada hukum melainkan hukum Allah”. Slogan yang kelihatannya berteraskan al-Quran, tetapi dengan tujuan yang buruk. Kata Saidina Saidina ‘Ali bin Abi Talib kepada mereka: “Satu slogan yang benar, tetapi dengan tujuan yang batil”. (Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, 304/10, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah).
Dengan slogan al-Quran “Sesiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu orang-orang yang kafir” (Surah al-Maidah, ayat 44), maka mereka melancarkan kempen mengkafirkan dan memerangi orang Islam. Atas andaian yang tipis maka dengan mudah seseorang dijatuhkan hukuman murtad dan kafir.
- Gambar Hiasan
Hasilnya, pertumpahan yang dahsyat berlaku pada zaman pemerintahan Saidiyyida ‘Ali bin ‘Abi Talib. Selepas zaman ‘Ali pun, pemikiran Khawarij meresap ke dalam berbagai kumpulan dan organisasi. Hasilnya, kita mendengar isu kafir mengkafir muncul di pelbagai zaman dan tempat di seluruh pelusuk dunia Islam.
Pada zahirnya puak ini berwajah agama, namun pada hakikatnya Nabi s.a.w menyebut tentang mereka:
“Mereka itu berucap dengan ucapan sebaik-baik makhluk. Mereka tersasar keluar dari Islam seperti anak panah tersasar dari sasarannya. Iman mereka tidak melebihi halkum mereka. Di mana sahaja kamu temui mereka maka bunuhlah mereka kerana sesungguhnya membunuh mereka itu ada pahala pada Hari Kiamat” (Riwayat al-Bukhari).
Demikian getirnya kelompok ini. Sekalipun dengan ungkapan dan nas agama di mulut mereka, namun Nabi s.a.w memerintahkan agar pemerintah Islam membunuh mereka kerana mereka mengkafirkan bahkan sesetengah kelompok mereka seperti al-Azraqiyah membunuh orang Islam, anak kecil dan wanita yang tidak mengikut kumpulan atau jamaah mereka.
Dengan ini menyedarkan kita semua, di samping kita bersangka baik kepada golongan yang menzahirkan ciri-ciri agama, kita sayangkan mereka dan menghormati mereka, namun kita juga mestilah berhati-hati dengan tindakan setiap individu dan kumpulan.
Janganlah penampilan zahir menyebabkan kita membuta mata atau memandulkan akal dari membuat penilaian yang matang dan seimbang. Apa yang baik kita kata baik, apa yang salah tetap dinilai salah tanpa mengira dari mana dan siapa kesalahan itu datang. Namun jika golongan tertentu menzahirkan ciri-ciri agama dan memegang prinsip agama dalam seluruh perjalanan mereka, maka merekalah golongan yang kita cinta dan kita bela dengan sepenuhnya.
Monday, 7 December 2009
Westfield, White City & Windsor
Halim, Ashraf and I went to Westfield. Ashraf & I were Westfield virgins. The shopping centre was big and there were lots and lots of shops but I wasn't interested coz I was so hungry and looking for Jom Makan Resturant.
The services was slow, took about an hour for all or dishes to arrived. Halim order nasi ayam with roasted chicken, the dishes arrives after 20 minutes but very dissipointed as he found that the chicked breast not really roasted. After 10 minutes later Ashraf's mee goreng arrived than another 15 minutes after that my char kueh tiaw arrived, lo and behold there were mushroom peaking from my char kueh tiaw (first time ever I see mushroom in char kueh tiaw - I 'm allergic to mushroom). I end up changing the plate with Ashraf. We did order gado-gado but its never came. Our waiter was sweet boy, he tried to track down our gado-gado and end up being lock out from the kitchen. We asked for the bill and end up with free dessert for each of us for missing the gado-gado. Sorry I forget to take the food photos as I was so hungry.
Wake up late on saturday, Halim called asking either I wan't to go out shopping. Of course I said yes. We reached Windsor around 3.15pm and by 4 pm, it was already dark.
The services was slow, took about an hour for all or dishes to arrived. Halim order nasi ayam with roasted chicken, the dishes arrives after 20 minutes but very dissipointed as he found that the chicked breast not really roasted. After 10 minutes later Ashraf's mee goreng arrived than another 15 minutes after that my char kueh tiaw arrived, lo and behold there were mushroom peaking from my char kueh tiaw (first time ever I see mushroom in char kueh tiaw - I 'm allergic to mushroom). I end up changing the plate with Ashraf. We did order gado-gado but its never came. Our waiter was sweet boy, he tried to track down our gado-gado and end up being lock out from the kitchen. We asked for the bill and end up with free dessert for each of us for missing the gado-gado. Sorry I forget to take the food photos as I was so hungry.
Wake up late on saturday, Halim called asking either I wan't to go out shopping. Of course I said yes. We reached Windsor around 3.15pm and by 4 pm, it was already dark.
Saturday, 5 December 2009
Bolehkah Menggunakan Gelaran Haji dan Hajjah?
Source: e-mail
Oleh Zaharuddin Abd Rahman (www.zaharuddin.net)
Soalan
Apakah boleh seseorang menuntut dan menggunakan gelaran Haji atau Hajah sesudah pulang dari menunaikan ibadah tersebut. Adakah ia satu kesalahan di dalam Islam kerana tidak pernah digunakan oleh nabi dan para sahabat di zaman ? Jika dibenarkan apakah pula ulasannya Ustaz. Terima kasih
Jawapan
Sebelum ini juga ramai yang bertanya sama ada boleh digunakan gelaran ‘Haji' kepada mereka yang sudah selesai menunaikan haji.
Saya teringat ada seorang kenalan saya, sekitar 10 tahun dahulu memarahi seorang rakannya kerana tidak memanggilnya dengan gelaran tersebut. Bila saya bertanya mengapa sampai begitu sekali?.
Dijawabnya "Ye la, kita dah bertungkus lumus melaksanakan haji, berbelas ribu ringgit habis, jadi hormatlah sikit kita dengan pengiktirafan" demikian tegasnya secara agak emosi.
Saya yakin, para pembaca mempunyai pelbagai reaksi apabila membaca jawapannya. Majoritinya mungkin akan merasa tidak bersetuju sama sekali dengan hujjahnya. Namun itulah hakikat bagi sebahagian besar umat Islam khususnya di Malaysia, mereka cukup ingin serta merasa selesa dan bangga dengan gelaran ‘Haji' sesudah mereka pulang dari mengerjakan ibadah agung tersebut.
Jadi persoalan kita ketika ini, adakah boleh di sisi Islam?
"ada orang baru balik haji, sibuk ingin digelar haji, kalau tak gelar, dia marah, habis rukun Islam yang lain pun lepas ini kena bagi gelaran jugakkah?, jadilah namanya Tuan Haji Umrah Solat Puasa Zakat Ali Bin Abu Bakar" Demikian sindir seorang ustaz sebagai tanda protes tidak setuju disamping ingin membuat buah lawak untuk menghilangkan mengantuk para pendengar ceramahnya.
"Nabi dan sahabatnya tiada yang guna gelaran begitu, ni semuanya mengarut dan bid'ah" tegas seorang ustaz lagi dalam kuliahnya.
Adakah salah untuk menggunakan gelaran Haji di awal nama bagi mereka yang pulang dari menunaikan ibadah besar itu?
Persoalan ini tidak dinafikan lebih kepada sebuah isu kecil, justeru diharap jangan ada sesiapa yang kerananya melakukan dosa menghina, merendah dan menyakiti hati manusia lain. Itu persoalan pookok yang perlu difahami sebelum kita melanjutkan perbincangan.
Menurut pendapat saya, gelaran sebegini bukan sebuah persoalan ibadah khusus yang memerlukan kepada dalil khusus dari amalan Nabi s.a.w, salafussoleh dari kalangan sahabat dan tabien.
Isu gelaran adalah sebuah isu kemasyarakatan dan sosial yang tidak tertakluk kepada dalil-dalil specifik. Ia hanya tertakluk kepada dalil umum yang mengandungi nilai dan asas sama ada untuk mengarah atau melarang.
Dalam hal gelaran, dalil yang menjelaskan prinsip atau displin dalam gelar menggelar boleh diambil dari firman Allah swt seperti yang tercatat di dalam ayat surah al-Hujurat :
وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ
Ertinya : janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah segala jenis nama panggilan yang berciri kefasiqan selepas kamu beriman ( Al-Hujurat : 11)
Jelas dari ayat di atas, prinsipnya adalah Allah swt melarang untuk umat Islam mengelar saudara seagama dengan apa jua gelaran yang buruk dan menyakitkan hatinya, tidak kira sama ada ia benar atau tidak, selagimana ia dilakukan dengan niat menghina dan menjatuhkan, ia adalah dilarang.
Imam Abu Ja'far At-Tabari mengatakan :
التنابز بالألقاب : هو دعاء المرء صاحبه بما يكرهه من اسم أو صفة ، وعم الله بنهيه ذلك ، ولم يخصص به بعض الألقاب دون بعض ، فغير جائز لأحد من المسلمين أن ينبز أخاه باسم يكرهه ، أو صفة يكرهها
Ertinya : Memanggil dengan gelaran adalah seperti seseorang memanggil saudaranya dengan cara yang dibencinya sama ada (menggunakan) nama tertentu atau sifat. Dan larangan Allah swt itu umum tanpa sebarang pengkhususan kepda satu jenis gelaran tanpa yang lain, maka oleh itu, TIDAK HARUS (haram) bagi seorang Muslim untuk memanggil saudaranya sama ada dengan nama atau sifat yang dibencinya. ( Jami' al-Bayan, 22/29)
Justeru di dalam Islam budaya gelar mengelar dengan gelaran buruk ini bukanlah tindakan yang benar, malah ia terkeji dan hanya menjadi mainan individu yang dipimpin oleh emosi. Jangan sesekali mudah memulakan gelaran seperti 'Ulama Mee Segera', 'Si bodoh', ‘Umngok', ‘Munafiq' dan lain-lain. Walau apapun sebab dan latar belakang kemarahannya, cara menggelar sebegini bukan caranya. Terdapat begitu banyak cara bahasa lain yang lebih sesuai untuk menegur seseorang.
Ia hanya akan memburukkan keadaan dan seterusnya menjatuhkan maruah si penggelar sahaja bukan mereka yang digelar. Tiada kebaikan yang boleh tersebar darinya kecuali kepuasan peribadi pihak mengggelar kononnya untuk menegakkan yang hak tetapi sebenarnya hanya memuaskan nafsu amarah masing-masing sahaja.
Islam melarang menggelarkan seseorang dengan sebarang gelaran buruk, dilarang juga mengkafirkan seseorang tanpa kejelasan yang putus atau kelak kekafiran dan gelaran itu akan kembali kepada dirinya sendiri. Seluruh gelaran buruk yang dicipta juga akan kembali kepada di penggelar.
Namun demikian, terdapat PENGECUALIAN sekiranya sesuatu gelaran dibuat bagi keadaan tertentu seperti untuk membezakan di antara individu maka digelarkan dengan sifat atau nama yang sesuai bagi fizikalnya, sedangkan gelaran itu adalah buruk, namun panggilan itu dibuat bukan untuk menghina dan merendah, ia hanya diniat untuk memberi kenal kepada mereka yang bertanya. Tatkala itu ia dibenarkan,
Demikian juga, jika terdapat maslahat yang lebih besar untuk dijagai, seperti bpara ulama menggelarkan beberapa perawi sebagai ‘kazzab' atau banyak berbohong bagi menjaga ketulenan sesebuah hadis. Namun ia bukanlah disebarluaskan kepada masyarakat awam, hal sedemikian hanya akan diketahui oleh golongan ulama dari kalangan penkgaji hadis dan perawinya sahaja. Ringkasnya semuanya masih tertakluk kepada adab-adab dan displinnya.
GELARAN BAIK SEPERTI TUAN HAJI?
Gelaran buruk dengan tujuan merendah dan menghina, tanpa khilaf lagi ia dilarang, maka jelas GELARAN BAIK ADALAH dibenarkan dalam Islam selagi tidak bercanggah dengan aqidah seperti menggelar seseorang dengan gelaran yang mengangkatnya ke darjat Tuhan atau Rasul.
Keharusan ini boleh dilihat dalam keharusan menggunakan gelaran Sayyid bagi Nabi Muhammad s.a.w dan juga para sahabat baginda nabi s.a.w.
Penggunaannya kepada selain Nabi s.a.w tidak disepakati oleh para ulama, ada yang menegah kecuali bagi pemimpin kaum iaitu di atas kapasitinya sebagai pemimpin atau ketua kepada kaum tersebut.
Namun demikian, gelaran ‘sayyiduna' yang beerti tuan kami, dibenarkan oleh sebahagian ulama untuk digunakan sama ada untuk baginda Nabi s.a.w dan juga tokoh-tokoh pimpinan yang lain, berdasarkan beberapa dalil (namun tulisan ini tidak akan membincangkan perihal kukuh atau tidaknya dalil yang dipetik). Antaranya Firman Allah :-
فَنَادَتْهُ المَلائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي المِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِّنَ اللَّهِ وَسَيِّداً وَحَصُوراً وَنَبِياًّ مِّنَ الصَّالِحِينَ
Ertinya : Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan salat di mihrab (katanya): ""Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi tuan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh. ( Al-Imran : 39)
Imam al-Qurtubi mengulas katanya :-
ففيه دلالة على جواز تسمية الإنسان سيدًا ، كما يجوز أن يُسمِّى عزيزًا أو كريمًا
Ertinya : Pada ayat itu suatu dalil berkenaan keharusan menamakan seseorang sebagai sayyid (tuan), sebagaimana harus untuk digelar yang mulia (Jami' ahkam al-Quran)
Nabi s.a.w juga pernah bersabda :
ابني هذا سيد ولعل الله أن يصلح به بين فئتين من المسلمين
Ertinya : Sesungguhnya anakku (cucu) ini adalah sayyid (tuan) dan moga-moga melaluinya Allah akan memperdamaikan dua puak dari kalangan muslimin ( Riwayat Al-Bukhari)
Hasil dari petikan dalil di atas, malah banyak lagi dalil lain, MAJORITI ulama membenarkan untuk menggunakan gelaran Sayyidina kepada baginda Nabi s.a.w dan SEBAHAGIAN ULAMA PULA juga mengizinkannya untuk digunapakai kepada mereka selain Nabi s.a.w. Dengan syarat asalkan kita mengetahui batasan penghormatan, sebagaimana yang dituntut oleh Nabi SENDIRI.
أن ناسا قالوا: يا رسول الله، يا خيرنا وابن خيرنا، وسيدنا وابن سيدنا. فقال: يا أيها الناس، قولوا بقولكم، ولا يستهوينكم الشيطان، أنا محمد عبد الله ورسوله، ما أحب أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني الله عز وجل
Ertinya : Orang ramai berkata : wahai Rasulullah, wahai yang terpilih dan anak yang terpilih, tuan kami dan anak kepada tuan. Baginda membalas : Wahai manusia, kamu berkata dengan perkataan kamu, namun jangan sampai kamu diselewengkan oleh Syaitan, aku adalah Muhammad, Hamba Allah dan RasulNya, tiadalah aku sukai kamu mengangkat darjatku melebihi daripada darjat yang diberikan oleh Allah kepadaku ( Riwayat Abu Daud: sanad yang baik)
Jika gelaran ‘Sayyiduna' yang kontroversi di kalangan ulama Islam itu pun masih diharuskan menurut sebahagian ulama, sebahagian lain mengatakannya sebagai makruh kerana hadis di atas. Kita memahami gelaran sedemikian memerlukan sedikit hati-hati agar tidak melampau sehingga terjebak dalam kes pengikut Kristian yang mengganggap Nabi Isa sebagai anak tuhan akibat berlebhan dalam menggagungkannya.
Maka tentunya tiada sebarang halangan di dalam Islam untuk gelaran-gelaran biasa yang kurang kontroversi seperti gelaran Tuan haji, Ustaz, Dr, Dato', Syeikh, Profesor, Tok Guru, Imam, Hujjatul Islam, Syeikhul Islam dan apa jua gelaran yang baik lagi disukai dan baik untuk digunakan sebagai penghargaan, pujian, doa dan pengiktirafan.
Isu sama ada gelaran itu akan mendatangkan rasa riyak, takbur dan ujub adalah persoalan kedua. Hal ini mempunyai sedikit persamaan dengan isu memuji seseorang di hadapannya. BOLEH DIBACA DI SINI .
Kesimpulannya, jika diketahui pujian itu akan memusnahkannya, maka janganlah dilakukannya. Maka larangan adalah disebabkan hal luaran yang mendatang dan bukannya pada pujian itu sendiri. Demikian juga gelaran Tuan Haji, Sayyid dan sepertinya.
Oleh itu, jika kita memanggil seseorang dengan gelaran Tuan Haji, dan ia menyukakan tuan tubuh, malah dapat mengingatkannya dengan ibadah agung yang pernah dia bertungkus lumus melakukannya, mengingatkannya kepada Allah swt dan baitullah al-haram serta boleh mengekalkan momentum keinsafannya. Maka sudah tentu ia tidak dilarang di dalam Islam malah digalakkan.
ADAT DAN HORMAT
Apatah lagi apabila ia sudah menjadi adat di sesebuah kawasan untuk menggunakan nama panggilan yang baik tersebut.
Adakalanya, gelaran ‘Haji' juga digunakan hanya kerana tiada gelaran lain yang sesuai untuk seseorang untuk menunjukkan hormat kita kepadanya.
Saya pernah mempunyai beberapa kenalan jutawan veteran yang amat rapat dengan saya, walaupun mereka adalah jutawan, hartawan, pengasas dan ketua kepada syarikat masing-masing, namun mereka belum menerima anugerah Dato', mereka juga bukan pemegang PhD.
Justeru gelaran apakah yang paling sesuai untuk memanggilnya disamping menunjukkan penghormatan kita kepada umurnya ?
Tatkala itu saya hilang idea, hanya gelaran ‘Tuan Haji' saya kira paling sesuai setiap kali berhuung dengan beliau. Gelaran pak cik tidak sesuai, gelaran syeikh kurang sesuai orang perwatakan sepertinya, abang juga tidak sesuai, akhi juga tidak sesuai, awak juga tidak, enta pun tidak sesuai. Pernahkah anda mengalami situasi seperti itu?
Kita sedar, kesan buruk juga boleh berganda apabila seorang yang digelar ‘tuan haji' dan ‘puan hajah' melakukan maksiat dan dosa secara terangan. Lebih mendukacitakan apabila kesnya melibatkan tangkapan kahlwat, zina, pecah amanah dan lain-lain yang biasnaya tersiar di dada akhbar. Namun demikianhal itu tidak menjadikan penggunaan gelaran ‘Haji' dan Hajah' sebagai haram.
AKHIRNYA
Walaupun harus mendapat atau menggunakan gelaran ‘Haji', amat perlu disedari pemergian menunaikan rukun Islam kelima itu bukanlah kerana gelaran dan tidak wajar menjadi marah jika tidak diberikan oleh manusia. Bukankah pandangan Allah yang menjadi sasaran ke sana.
Kemarahan seseorang akibat tidak digelar Haji sesudah pulangnya, boleh menjadi satu indikasi negatif kepada status Haji si polan sama ada ia tergolong di dalam Haji yang Mabrur atau tidak. Pastinya mereka yang mensasarkan haji mabrur tidak akan berasa apa-apa dengan gelaran tersebut, malah tidak ambil pusing dan endah diberikan kepadanya atau tidak. Maka itulah yang terbaik..moga kita semua memperolehi Haji Mabrur..Semua gelaran tidak memberi manfaat kepada alam akhirat kita, semua akan ditinggalkan di dunia yang fana ini, yang kekal dan mengikuti kita adalah kecantikan amal itu, bukan gelarannya.
Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar walillahil Hamd
Salam Eidil Adha buat semua umat Islam di seluruh dunia. Jangan lupa berpuasa sunat hari ini bagi mereka yang tidak berada di Arafah.
Oleh Zaharuddin Abd Rahman (www.zaharuddin.net)
Soalan
Apakah boleh seseorang menuntut dan menggunakan gelaran Haji atau Hajah sesudah pulang dari menunaikan ibadah tersebut. Adakah ia satu kesalahan di dalam Islam kerana tidak pernah digunakan oleh nabi dan para sahabat di zaman ? Jika dibenarkan apakah pula ulasannya Ustaz. Terima kasih
Jawapan
Sebelum ini juga ramai yang bertanya sama ada boleh digunakan gelaran ‘Haji' kepada mereka yang sudah selesai menunaikan haji.
Saya teringat ada seorang kenalan saya, sekitar 10 tahun dahulu memarahi seorang rakannya kerana tidak memanggilnya dengan gelaran tersebut. Bila saya bertanya mengapa sampai begitu sekali?.
Dijawabnya "Ye la, kita dah bertungkus lumus melaksanakan haji, berbelas ribu ringgit habis, jadi hormatlah sikit kita dengan pengiktirafan" demikian tegasnya secara agak emosi.
Saya yakin, para pembaca mempunyai pelbagai reaksi apabila membaca jawapannya. Majoritinya mungkin akan merasa tidak bersetuju sama sekali dengan hujjahnya. Namun itulah hakikat bagi sebahagian besar umat Islam khususnya di Malaysia, mereka cukup ingin serta merasa selesa dan bangga dengan gelaran ‘Haji' sesudah mereka pulang dari mengerjakan ibadah agung tersebut.
Jadi persoalan kita ketika ini, adakah boleh di sisi Islam?
"ada orang baru balik haji, sibuk ingin digelar haji, kalau tak gelar, dia marah, habis rukun Islam yang lain pun lepas ini kena bagi gelaran jugakkah?, jadilah namanya Tuan Haji Umrah Solat Puasa Zakat Ali Bin Abu Bakar" Demikian sindir seorang ustaz sebagai tanda protes tidak setuju disamping ingin membuat buah lawak untuk menghilangkan mengantuk para pendengar ceramahnya.
"Nabi dan sahabatnya tiada yang guna gelaran begitu, ni semuanya mengarut dan bid'ah" tegas seorang ustaz lagi dalam kuliahnya.
Adakah salah untuk menggunakan gelaran Haji di awal nama bagi mereka yang pulang dari menunaikan ibadah besar itu?
Persoalan ini tidak dinafikan lebih kepada sebuah isu kecil, justeru diharap jangan ada sesiapa yang kerananya melakukan dosa menghina, merendah dan menyakiti hati manusia lain. Itu persoalan pookok yang perlu difahami sebelum kita melanjutkan perbincangan.
Menurut pendapat saya, gelaran sebegini bukan sebuah persoalan ibadah khusus yang memerlukan kepada dalil khusus dari amalan Nabi s.a.w, salafussoleh dari kalangan sahabat dan tabien.
Isu gelaran adalah sebuah isu kemasyarakatan dan sosial yang tidak tertakluk kepada dalil-dalil specifik. Ia hanya tertakluk kepada dalil umum yang mengandungi nilai dan asas sama ada untuk mengarah atau melarang.
Dalam hal gelaran, dalil yang menjelaskan prinsip atau displin dalam gelar menggelar boleh diambil dari firman Allah swt seperti yang tercatat di dalam ayat surah al-Hujurat :
وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ
Ertinya : janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah segala jenis nama panggilan yang berciri kefasiqan selepas kamu beriman ( Al-Hujurat : 11)
Jelas dari ayat di atas, prinsipnya adalah Allah swt melarang untuk umat Islam mengelar saudara seagama dengan apa jua gelaran yang buruk dan menyakitkan hatinya, tidak kira sama ada ia benar atau tidak, selagimana ia dilakukan dengan niat menghina dan menjatuhkan, ia adalah dilarang.
Imam Abu Ja'far At-Tabari mengatakan :
التنابز بالألقاب : هو دعاء المرء صاحبه بما يكرهه من اسم أو صفة ، وعم الله بنهيه ذلك ، ولم يخصص به بعض الألقاب دون بعض ، فغير جائز لأحد من المسلمين أن ينبز أخاه باسم يكرهه ، أو صفة يكرهها
Ertinya : Memanggil dengan gelaran adalah seperti seseorang memanggil saudaranya dengan cara yang dibencinya sama ada (menggunakan) nama tertentu atau sifat. Dan larangan Allah swt itu umum tanpa sebarang pengkhususan kepda satu jenis gelaran tanpa yang lain, maka oleh itu, TIDAK HARUS (haram) bagi seorang Muslim untuk memanggil saudaranya sama ada dengan nama atau sifat yang dibencinya. ( Jami' al-Bayan, 22/29)
Justeru di dalam Islam budaya gelar mengelar dengan gelaran buruk ini bukanlah tindakan yang benar, malah ia terkeji dan hanya menjadi mainan individu yang dipimpin oleh emosi. Jangan sesekali mudah memulakan gelaran seperti 'Ulama Mee Segera', 'Si bodoh', ‘Umngok', ‘Munafiq' dan lain-lain. Walau apapun sebab dan latar belakang kemarahannya, cara menggelar sebegini bukan caranya. Terdapat begitu banyak cara bahasa lain yang lebih sesuai untuk menegur seseorang.
Ia hanya akan memburukkan keadaan dan seterusnya menjatuhkan maruah si penggelar sahaja bukan mereka yang digelar. Tiada kebaikan yang boleh tersebar darinya kecuali kepuasan peribadi pihak mengggelar kononnya untuk menegakkan yang hak tetapi sebenarnya hanya memuaskan nafsu amarah masing-masing sahaja.
Islam melarang menggelarkan seseorang dengan sebarang gelaran buruk, dilarang juga mengkafirkan seseorang tanpa kejelasan yang putus atau kelak kekafiran dan gelaran itu akan kembali kepada dirinya sendiri. Seluruh gelaran buruk yang dicipta juga akan kembali kepada di penggelar.
Namun demikian, terdapat PENGECUALIAN sekiranya sesuatu gelaran dibuat bagi keadaan tertentu seperti untuk membezakan di antara individu maka digelarkan dengan sifat atau nama yang sesuai bagi fizikalnya, sedangkan gelaran itu adalah buruk, namun panggilan itu dibuat bukan untuk menghina dan merendah, ia hanya diniat untuk memberi kenal kepada mereka yang bertanya. Tatkala itu ia dibenarkan,
Demikian juga, jika terdapat maslahat yang lebih besar untuk dijagai, seperti bpara ulama menggelarkan beberapa perawi sebagai ‘kazzab' atau banyak berbohong bagi menjaga ketulenan sesebuah hadis. Namun ia bukanlah disebarluaskan kepada masyarakat awam, hal sedemikian hanya akan diketahui oleh golongan ulama dari kalangan penkgaji hadis dan perawinya sahaja. Ringkasnya semuanya masih tertakluk kepada adab-adab dan displinnya.
GELARAN BAIK SEPERTI TUAN HAJI?
Gelaran buruk dengan tujuan merendah dan menghina, tanpa khilaf lagi ia dilarang, maka jelas GELARAN BAIK ADALAH dibenarkan dalam Islam selagi tidak bercanggah dengan aqidah seperti menggelar seseorang dengan gelaran yang mengangkatnya ke darjat Tuhan atau Rasul.
Keharusan ini boleh dilihat dalam keharusan menggunakan gelaran Sayyid bagi Nabi Muhammad s.a.w dan juga para sahabat baginda nabi s.a.w.
Penggunaannya kepada selain Nabi s.a.w tidak disepakati oleh para ulama, ada yang menegah kecuali bagi pemimpin kaum iaitu di atas kapasitinya sebagai pemimpin atau ketua kepada kaum tersebut.
Namun demikian, gelaran ‘sayyiduna' yang beerti tuan kami, dibenarkan oleh sebahagian ulama untuk digunakan sama ada untuk baginda Nabi s.a.w dan juga tokoh-tokoh pimpinan yang lain, berdasarkan beberapa dalil (namun tulisan ini tidak akan membincangkan perihal kukuh atau tidaknya dalil yang dipetik). Antaranya Firman Allah :-
فَنَادَتْهُ المَلائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي المِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِّنَ اللَّهِ وَسَيِّداً وَحَصُوراً وَنَبِياًّ مِّنَ الصَّالِحِينَ
Ertinya : Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan salat di mihrab (katanya): ""Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi tuan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh. ( Al-Imran : 39)
Imam al-Qurtubi mengulas katanya :-
ففيه دلالة على جواز تسمية الإنسان سيدًا ، كما يجوز أن يُسمِّى عزيزًا أو كريمًا
Ertinya : Pada ayat itu suatu dalil berkenaan keharusan menamakan seseorang sebagai sayyid (tuan), sebagaimana harus untuk digelar yang mulia (Jami' ahkam al-Quran)
Nabi s.a.w juga pernah bersabda :
ابني هذا سيد ولعل الله أن يصلح به بين فئتين من المسلمين
Ertinya : Sesungguhnya anakku (cucu) ini adalah sayyid (tuan) dan moga-moga melaluinya Allah akan memperdamaikan dua puak dari kalangan muslimin ( Riwayat Al-Bukhari)
Hasil dari petikan dalil di atas, malah banyak lagi dalil lain, MAJORITI ulama membenarkan untuk menggunakan gelaran Sayyidina kepada baginda Nabi s.a.w dan SEBAHAGIAN ULAMA PULA juga mengizinkannya untuk digunapakai kepada mereka selain Nabi s.a.w. Dengan syarat asalkan kita mengetahui batasan penghormatan, sebagaimana yang dituntut oleh Nabi SENDIRI.
أن ناسا قالوا: يا رسول الله، يا خيرنا وابن خيرنا، وسيدنا وابن سيدنا. فقال: يا أيها الناس، قولوا بقولكم، ولا يستهوينكم الشيطان، أنا محمد عبد الله ورسوله، ما أحب أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني الله عز وجل
Ertinya : Orang ramai berkata : wahai Rasulullah, wahai yang terpilih dan anak yang terpilih, tuan kami dan anak kepada tuan. Baginda membalas : Wahai manusia, kamu berkata dengan perkataan kamu, namun jangan sampai kamu diselewengkan oleh Syaitan, aku adalah Muhammad, Hamba Allah dan RasulNya, tiadalah aku sukai kamu mengangkat darjatku melebihi daripada darjat yang diberikan oleh Allah kepadaku ( Riwayat Abu Daud: sanad yang baik)
Jika gelaran ‘Sayyiduna' yang kontroversi di kalangan ulama Islam itu pun masih diharuskan menurut sebahagian ulama, sebahagian lain mengatakannya sebagai makruh kerana hadis di atas. Kita memahami gelaran sedemikian memerlukan sedikit hati-hati agar tidak melampau sehingga terjebak dalam kes pengikut Kristian yang mengganggap Nabi Isa sebagai anak tuhan akibat berlebhan dalam menggagungkannya.
Maka tentunya tiada sebarang halangan di dalam Islam untuk gelaran-gelaran biasa yang kurang kontroversi seperti gelaran Tuan haji, Ustaz, Dr, Dato', Syeikh, Profesor, Tok Guru, Imam, Hujjatul Islam, Syeikhul Islam dan apa jua gelaran yang baik lagi disukai dan baik untuk digunakan sebagai penghargaan, pujian, doa dan pengiktirafan.
Isu sama ada gelaran itu akan mendatangkan rasa riyak, takbur dan ujub adalah persoalan kedua. Hal ini mempunyai sedikit persamaan dengan isu memuji seseorang di hadapannya. BOLEH DIBACA DI SINI .
Kesimpulannya, jika diketahui pujian itu akan memusnahkannya, maka janganlah dilakukannya. Maka larangan adalah disebabkan hal luaran yang mendatang dan bukannya pada pujian itu sendiri. Demikian juga gelaran Tuan Haji, Sayyid dan sepertinya.
Oleh itu, jika kita memanggil seseorang dengan gelaran Tuan Haji, dan ia menyukakan tuan tubuh, malah dapat mengingatkannya dengan ibadah agung yang pernah dia bertungkus lumus melakukannya, mengingatkannya kepada Allah swt dan baitullah al-haram serta boleh mengekalkan momentum keinsafannya. Maka sudah tentu ia tidak dilarang di dalam Islam malah digalakkan.
ADAT DAN HORMAT
Apatah lagi apabila ia sudah menjadi adat di sesebuah kawasan untuk menggunakan nama panggilan yang baik tersebut.
Adakalanya, gelaran ‘Haji' juga digunakan hanya kerana tiada gelaran lain yang sesuai untuk seseorang untuk menunjukkan hormat kita kepadanya.
Saya pernah mempunyai beberapa kenalan jutawan veteran yang amat rapat dengan saya, walaupun mereka adalah jutawan, hartawan, pengasas dan ketua kepada syarikat masing-masing, namun mereka belum menerima anugerah Dato', mereka juga bukan pemegang PhD.
Justeru gelaran apakah yang paling sesuai untuk memanggilnya disamping menunjukkan penghormatan kita kepada umurnya ?
Tatkala itu saya hilang idea, hanya gelaran ‘Tuan Haji' saya kira paling sesuai setiap kali berhuung dengan beliau. Gelaran pak cik tidak sesuai, gelaran syeikh kurang sesuai orang perwatakan sepertinya, abang juga tidak sesuai, akhi juga tidak sesuai, awak juga tidak, enta pun tidak sesuai. Pernahkah anda mengalami situasi seperti itu?
Kita sedar, kesan buruk juga boleh berganda apabila seorang yang digelar ‘tuan haji' dan ‘puan hajah' melakukan maksiat dan dosa secara terangan. Lebih mendukacitakan apabila kesnya melibatkan tangkapan kahlwat, zina, pecah amanah dan lain-lain yang biasnaya tersiar di dada akhbar. Namun demikianhal itu tidak menjadikan penggunaan gelaran ‘Haji' dan Hajah' sebagai haram.
AKHIRNYA
Walaupun harus mendapat atau menggunakan gelaran ‘Haji', amat perlu disedari pemergian menunaikan rukun Islam kelima itu bukanlah kerana gelaran dan tidak wajar menjadi marah jika tidak diberikan oleh manusia. Bukankah pandangan Allah yang menjadi sasaran ke sana.
Kemarahan seseorang akibat tidak digelar Haji sesudah pulangnya, boleh menjadi satu indikasi negatif kepada status Haji si polan sama ada ia tergolong di dalam Haji yang Mabrur atau tidak. Pastinya mereka yang mensasarkan haji mabrur tidak akan berasa apa-apa dengan gelaran tersebut, malah tidak ambil pusing dan endah diberikan kepadanya atau tidak. Maka itulah yang terbaik..moga kita semua memperolehi Haji Mabrur..Semua gelaran tidak memberi manfaat kepada alam akhirat kita, semua akan ditinggalkan di dunia yang fana ini, yang kekal dan mengikuti kita adalah kecantikan amal itu, bukan gelarannya.
Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar walillahil Hamd
Salam Eidil Adha buat semua umat Islam di seluruh dunia. Jangan lupa berpuasa sunat hari ini bagi mereka yang tidak berada di Arafah.
Thursday, 3 December 2009
Zaffran & Anis Birthday
26th November was Zaffran's & Anis's birthday. We had double birthday celebration on Sunday. I made Anis's cheese cake a night before and Zaffran's cake, I iced it in the morning. Nasi Ayam was the main course and side dishes were nasi impit, kuah lemak, left over rendang dan mutton curry from the hari raya haji.
The funny side was everybody were hungry but we have to wait for Halim to came home from work around 1.45pm, once Halim open the door, everybody tuck in without waiting for Halim to sit.
The funny side was everybody were hungry but we have to wait for Halim to came home from work around 1.45pm, once Halim open the door, everybody tuck in without waiting for Halim to sit.
Subscribe to:
Posts (Atom)